Rechercher dans ce blog

Tuesday, November 30, 2021

OJK Sebut BPR Masih Kalah Populer dari Pinjol Ilegal dan Rentenir - CNN Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia --

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) cenderung kalah saing dari perusahaan pinjaman online (pinjol) ilegal dan rentenir sebagai sumber pinjaman bagi masyarakat.

Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menyebut kekalahan terjadi karena masalah kecepatan akses keuangan. Ia menambahkan permintaan akses keuangan masyarakat semakin hari semakin cepat, bahkan ingin bisa 24 jam.

Dan kecepatan itu belum bisa disediakan oleh BPR dan BPRS.


"Jadi kenapa pinjol ilegal dan rentenir bisa ada ruang? Karena layanan sangat cepat, layanan tanpa henti, 24 jam," ujar Heru usai peluncuran Peta Jalan Pengembangan Perbankan 2021-2025 bagi Industri BPR/BPS secara virtual, Selasa (30/11).

Ia menambahkan dari sisi risiko, pinjol ilegal dan rentenir cukup besar. Risiko berkaitan dengan bunga pinjaman yang 'selangit', denda keterlambatan pengembalian pinjaman yang tinggi, hingga tindakan penagihan bila tidak bisa mengembalikan pinjaman. Meski demikian, risiko itu masih belum membuat masyarakat berpalin.

Untuk itu, menurut Heru, BPR perlu melakukan transformasi bisnis ke depan, sehingga bisa mengambil ruang pinjaman masyarakat yang saat ini masih ada di pinjol ilegal.

"Saya menginginkan ruang yang diambil oleh para pinjol ilegal dan rentenir, bisa diambilalih oleh peran BPR dan BPRS kita," ucapnya.

[Gambas:Video CNN]

Heru mengatakan ada beberapa pengembangan yang perlu diadopsi BPR dan BPRS agar bisa mengambil ruang tersebut. Pertama, memperkuat modal baik secara mandiri maupun konsolidasi dengan cara merger, sehingga BPR dan BPRS punya sumber pendanaan yang kuat untuk memenuhi permintaan masyarakat.

Menurut catatan OJK, ada 31 BPR yang sudah selesai merger menjadi 13 BPR pada tahun ini. Sementara yang sedang berproses sebanyak 30 BPR dan akan menjadi 17 BPR pada tahun ini.

Kedua, mengadopsi teknologi dan digitalisasi agar pelayanan lebih cepat dan mudah kepada masyarakat. Bahkan, kalau bisa BPR dan BPRS bisa memberikan akses keuangan yang 24 jam.

"Kalau mereka (BPR dan BPRS) bisa memberikan layanan itu, kenapa nasabah harus lari ke pinjol yang beri bunga setinggi langit? Tentu nasabah akan bisa dilayani oleh BPR karena bunganya juga lebih bersaing dengan syarat yang tentunya tidak mencekik leher," ungkapnya.

Ketiga, bekerja sama dengan pinjol legal (fintech). Menurut Heru, kolaborasi dengan fintech adalah solusi yang saling menguntungkan (win-win solution). Bagi BPR dan BPRS, mereka jadi bisa lebih cepat adopsi teknologi dan digitalisasi yang dibawa oleh fintech.

Sementara bagi fintech, mereka bisa memperluas jangkauan pinjaman dengan memanfaatkan cabang BPR dan BPRS yang tersebar hingga ke pelosok Indonesia. Pada akhirnya, kerja sama ini memberi manfaat peningkatan inklusi dan literasi keuangan bagi masyarakat serta menumbuhkan perekonomian nasional.

"Jadi fintech bukan ancaman, tapi teman untuk BPR. Selama ini banyak orang katakan BPR bisa terdisrupsi oleh fintech, tapi kita tidak perlu dikotomikan, tapi dekatkan saja, kolaborasi," imbuhnya.

Berdasarkan data wasit lembaga keuangan tersebut, jumlah kerja sama antara keduanya sudah terjalin di 51 BPR dan 31 fintech. Salah satu hasil kerja sama yang tak disebutkan namanya, diklaim telah membuat portofolio kredit kedua perusahaan meningkat hampir 40 persen.

Kinerja BPR/BPRS

Meski kalah dari rentenir dan pinjol, Heru mengklaim kinerja BPR dan BPRS cukup baik di tengah pandemi covid-19. Hal ini tercermin dari beberapa indikator.

Misalnya, total aset BPR dan BPRS tumbuh 8,9 persen per September 2021. Sementara kredit dan pembiayaan tumbuh 4,33 persen dan dana pihak ketiga melonjak 11,27 persen pada periode yang sama.

Sedangkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) BPR naik dari 29,89 persen pada Desember 2020 menjadi 32,01 persen pada September 2021. Rasio kecukupan modal terhadap kredit (loan to deposit ratio/LDR) naik dari 75,44 persen ke 74,9 persen.

Di BPRS, CAR turun dari 28,6 persen ke 23,86 persen dan LDR turun dari 108,78 persen ke 106,2 persen.

Untuk rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di BPR secara gross naik dari 7,22 persen menjadi 7,53 persen. Tapi, NPL net turun dari 5,33 persen menjadi 5,02 persen.

Di BPRS, rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) gross naik dari 7,24 persen ke 7,94 persen dan NPF net naik dari 5,85 persen ke 6,56 persen pada periode yang sama.

"Tapi rasio NPL gross dan net ini masih menunjukkan risiko kredit yang masih terkelola dengan prudent," tutur Heru.

Dari sisi jumlah, total ada 1.481 BPR dan 165 BPRS per September 2021. Jumlahnya terus menurun dari waktu ke waktu. Namun Heru mengklaim penurunan jumlah ini lebih banyak karena aksi merger atau konsolidasi.

Kendati begitu, ia tidak menampik ada beberapa BPR dan BPRS yang bermasalah sehingga harus 'gulung tikar'. Hanya saja, ia mengklaim penutupan ini lebih banyak karena masalah bisnis internal, bukan karena kalah bersaing.

"Apakah ada yang kesulitan? Ada, tapi sebagian besar resilient. Dari beberapa yang kesulitan pun sebagian besar selesai, mereka konsolidasi, mereka tambah modal atau ganti pengurus. Intinya mereka survive," pungkasnya.

(uli/agt)

Adblock test (Why?)


OJK Sebut BPR Masih Kalah Populer dari Pinjol Ilegal dan Rentenir - CNN Indonesia
Read More

No comments:

Post a Comment

Korsel Targetkan 300 Ribu Wisatawan dari Indonesia pada 2022 - Republika Online

Kunjungan wisatawan Indonesia ke Korea Selatan anjlok pada 2020 dan 2021. REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Korea Selatan (Korsel) menargetkan kun...