Rechercher dans ce blog

Sunday, November 7, 2021

Pentingnya Pengembangan Infrastruktur Kesehatan Berkaca dari Covid-19 - CNN Indonesia

Jakarta, CNN Indonesia --

Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir dua tahun lamanya memberikan pelajaran penting bahwa pengembangan infrastruktur kesehatan adalah hal yang tidak bisa ditawar.

Merespons pandemi Covid-19, pemerintah telah melakukan berbagai upaya meningkatkan kapasitas infrastruktur kesehatan sehingga masyarakat bisa mendapatkan pelayanan memadai.

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Abdul Kadir, mengatakan infrastruktur kesehatan Indonesia kini cukup siap dalam menanggulangi dan menangani pandemi Covid-19.


"Berkaca dari pandemi Covid-19 dan lonjakan kasus yang pernah terjadi, kondisi infrastruktur kesehatan di Indonesia termasuk upaya yang sudah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas respons Covid-19, baik dari sisi jumlah maupun kapasitasnya saat ini sudah cukup siap jika terjadi potensi lonjakan kasus berikutnya, dengan tetap mempertahankan dan memelihara semua fasilitas yang telah dibangun untuk penanggulangan Covid-19," ujarnya, Sabtu (6/11).

Saat ini, lanjutnya, terdapat lebih dari 2.400 Rumah Sakit (dari 3.000 RS) telah memberikan layanan Covid-19. Dari jumlah itu, terdapat kurang lebih 112 ribu tempat tidur isolasi di RS rujukan Covid-19 dan 11.400 ruang intensif Covid-19, termasuk pembangunan sekitar 70 RS Lapangan/RS Darurat Covid-19 di seluruh Indonesia.

Namun tidak berhenti sampai di situ, Indonesia masih membutuhkan sejumlah pengembangan infrastruktur kesehatan. Ia menggarisbawahi bahwa pelajaran penting dari pandemi Covid-19 adalah setiap harus memiliki wing (ruangan) khusus Penyakit Infeksi Emerging (PIE) ataupun ruangan yang setiap saat dapat dikonversi untuk PIE.

Pelajaran penting lainnya, kata dia, terkait dengan suplai oksigen yang masih cukup rentan. Pasalnya, selama pandemi kebutuhan oksigen meningkat 3-4 kali lipat dibandingkan kondisi normal.

Sementara, sistem gas medis di RS belum semuanya menggunakan sentral atau system gas liquid sehingga sangat bergantung pada pasokan tabung gas oksigen yang lebih rentan dibandingkan system gas liquid.

"Kebutuhan nasional setidaknya harapannya dapat memasok 2,7 ton per day sedangkan saat ini masih sekitar 2 ton per day sehingga defisif oksigen dipenuhi dari mesin oxygen concentrator, oxygen generator yang didistribusikan untuk penanganan jangka pendek. Ke depannya perlu penambahan kapasitas produksi likuid dari industri oksigen yang ada saat ini," ujar Kadir.

Akan tetapi, ia mengatakan salah satu kendala pengembangan infrastruktur kesehatan di daerah adalah keterbatasan keuangan yang sifatnya likuid dalam jangka pendek. Padahal, membiayai pemenuhan infrastruktur RS yang rata-rata bangunannya berumur lebih dari 30 tahun membutuhkan modal besar, sehingga kondisi ini menjadi tantangan.

Oleh sebab itu, ia mengakui peran PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI yang turut serta membiayai sejumlah pembangunan infrastruktur RS di daerah sangat penting guna menutup selisih (gap) pembiayaan.

"Saya ketahui PT SMI telah melakukan beberapa kerja sama pembiayaan infrastruktur di daerah seperti membangun rumah sakit umum daerah. Hal demikian kami rasa cukup baik dalam menutupi gap kebutuhan masyarakat yang sudah sedemikian tinggi akan pelayanan kesehatan yang bermutu terhadap kapasitas atau kemampuan pembiayaan yang terbatas saat ini," ujarnya.

Ke depannya, ia berharap PT SMI sebagai Special Mission Vehicle (SMV) di bawah koordinasi Kementerian Keuangan dapat mengembangkan kerja sama sejenis ke berbagai provinsi guna mengembangkan infrastruktur kesehatan. Selain itu, ia berharap PT SMI juga bisa bergerak pada lini jasa konsultasi terutama pengelolaan keuangan RS dan juga perencanaan teknis industri RS.

Pasalnya, Abdul memandang perlu peningkatan kapasitas manajemen keuangan dan perencanaan terutama RS milik pemerintah, baik yang sudah memiliki status Badan Layanan Umum (BLU) maupun belum. Ia juga berharap PT SMI terus melahirkan inovasi pembiayaan guna mendukung pengembangan infrastruktur kesehatan.

"Transformasi sistem pembiayaan membutuhkan inovasi dan keberanian dari pelaku usaha dan juga Pemerintah Daerah sepanjang pengelolaannya dilakukan secara visible, akuntabel, dan prospektif (menguntungkan). Sepanjang ada acuan hukum yang jelas, kami rasa patut dicoba engangement investasi yang progresif terutama untuk menutupi keterbatasan pembiaayan Dana Alokasi Khusus (DAK) ataupun Dana Alokasi Umum (DAU) yang ada," ujarnya.

Potensi Kekurangan

Terpisah, pakar epidemiologi sepakat bahwa pandemi Covid-19 memberikan pelajaran penting mengenai kondisi infrastruktur kesehatan di Indonesia.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan kondisi infrastruktur kesehatan di Indonesia baik fisik maupun Sumber Daya Manusia (SDM) dalam kondisi rawan. Kondisi rawan menggambarkan bahwa Indonesia akan mengalami kekurangan fasilitas dan SDM kesehatan apabila terjadi kondisi tidak normal, misalnya pandemi Covid-19.

Namun, bukan berarti infrastruktur dan SDM kesehatan mengalami kondisi darurat, sebab dalam kondisi normal Indonesia tidak mengalami permasalahan dari sisi ketersediaan fasilitas dan SDM kesehatan.

"Kita lebih pada kondisi rawan, rawan itu artinya ketika ada pandemi, lonjakan akan kekurangan. Kalau darurat itu dalam kondisi aman ini pun kekurangan, kalau kita tidak kekurangan, dalam kondisi normal relatif memadai, tapi kalau terjadi wabah besar seperti pandemi kita kurang, jadi menurut saya ada pada dalam kondisi rawan," ujarnya belum lama ini.

Sebagai gambaran, ia mengungkapkan rasio tempat tidur (bed) RS secara nasional yakni 1,3 unit per 1.000 penduduk.

Hanya ada dua provinsi yang rasionya mencapai 1,9 unit per 1.000 penduduk yakni DKI Jakarta dan Sulawesi Utara. Padahal, standar ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan 5 unit per 1.000 populasi penduduk.

"Nah, kalau melihat itu kita masih jauh di bawah standar WHO. Di Asean kita termasuk yang relatif rendah dan ini artinya harus kita perbaiki," imbuhnya.

Tak hanya masalah tempat tidur, Dicky juga menyoroti masih minimnya ketersediaan Intensive Care Unit (ICU), Neonatal Intensive Care Unit (NICU), dan Intensive Cardiologi Care Unit (ICCU) secara nasional. Ia memperkirakan jumlah RS yang memiliki fasilitas NICU baru 76 persen dan RS yang memiliki ICCU sekitar 55 persen dari total RS nasional.

"Nah, ini jadi satu kondisi yang rawan apalagi potensi ke depan bukan hanya pandemi, bahkan sekarang pun penyakit tidak menular sudah mulai banyak sehingga kebutuhan ini meningkat," tuturnya.

Belum lagi, lanjutnya, ketersediaan sarana dan prasarana pada sejumlah puskesmas di daerah. Meskipun, kata dia, keberadaan puskesmas cenderung sudah merata pada setiap kecamatan, namun sarana dan prasarananya masih minim, tercermin saat lonjakan kasus pandemi melanda berbagai daerah.

"Misalnya, oksigen tidak semua puskesmas itu punya," katanya.

Permasalahan infrastruktur kesehatan erat kaitannya dengan anggaran kesehatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kepala Peneliti Makroekonomi dan Keuangan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, mengatakan WHO merekomendasikan standar anggaran untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat di suatu negara sebesar 5 persen hingga 6 persen dari anggaran belanja.

Namun, untuk mencapai derajat kesehatan ideal, maka sebuah negara harus mengalokasikan anggaran sebesar 15 persen sampai dengan 20 persen dari anggaran belanjanya.

Fakta di Indonesia, lanjutnya, persentase anggaran kesehatan sebelum pandemi di 2019 sekitar 7-8 persen dari belanja APBN. Pada 2019, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp 92,8 triliun, lalu turun tipis menjadi Rp 92,2 triliun pada 2017. Pada 2018, anggaran kesehatan tercatat sebesar Rp 109,2 triliun dan kembali bertambah pada 2019 menjadi Rp 113,6 triliun.

"Artinya apa, ya hanya dalam batas meningkatkan derajat kesehatan saja, bukan kondisi ideal. Itu kondisi yang tidak ada pandemi business as usual, kalau dalam kondisi pandemi ya mestinya ideal, bisa mencapai 20 persen hingga 30 persen (dari belanja APBN) sektor kesehatan itu didorong," ujarnya.

Tahun ini, Kementerian Keuangan menyisihkan anggaran kesehatan dalam APBN 2021 sebesar Rp 169,7 triliun, turun 20,1 persen dibandingkan tahun lalu yakni Rp212,5 triliun. Dalam dua tahun ini, anggaran kesehatan memang dipatok lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19.

Dana Non-APBN

Selain anggaran kesehatan dari belanja APBN, pemerintah juga mengalokasikan dana kesehatan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran kesehatan dalam PEN sebesar Rp 214,96 triliun.

Melihat kondisi APBN yang tengah tertekan akibat pandemi, maka Rizal menyarankan agar pemerintah dapat mengoptimalkan sumber pendanaan non-APBN misalnya dana hibah, CSR, filantropi, dan sebagainya. Mengingat, sektor kesehatan masuk dalam salah satu program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dengan catatan, pemerintah tetap memegang peran utama dalam pembiayaan sektor kesehatan.

"Apakah sumber pembiayaan lain bisa dioptimalkan, saya kira mestinya dalam keuangan kita kan boleh saja, dari hibah, CSR, filantropi yang bersifat non budgeter, itu boleh. Hanya saja, tentu harus dengan monitoring (pengawasan) yang pas, standar yang sesuai dengan standar internasional dan nasional yang disepakati," ucapnya.

(asa)

[Gambas:Video CNN]

Adblock test (Why?)


Pentingnya Pengembangan Infrastruktur Kesehatan Berkaca dari Covid-19 - CNN Indonesia
Read More

No comments:

Post a Comment

Korsel Targetkan 300 Ribu Wisatawan dari Indonesia pada 2022 - Republika Online

Kunjungan wisatawan Indonesia ke Korea Selatan anjlok pada 2020 dan 2021. REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Korea Selatan (Korsel) menargetkan kun...