Covid-19 telah menewaskan lebih dari 3,5 juta orang hingga Rabu (26/5/2021), menjadikannya sebagai pandemi paling mematikan setelah Flu Spanyol tahun 1918. Dengan kematian karena Covid-19 rata-rata 10.000 orang per hari, tiap menit ada tujuh orang meninggal dunia. Estimasi terbaru menunjukkan, Covid-19 jauh lebih mematikan dari yang terlaporkan.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pekan lalu menunjukkan, hingga 31 Desember 2020, jumlah korban jiwa karena Covid-19 setidaknya 3 juta, lebih banyak 1,2 juta dari laporan resmi saat itu sebanyak 1,8 juta.
Perhitungan WHO ini sejalan dengan sejumlah kajian Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dari University of Washington. Hingga 13 Mei 2021 secara global, menurut laporan mereka sudah ada 7,1 juta orang yang meninggal dunia karena Covid-19. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan laporan resmi kematian global terkait Covid-19 pada Rabu (21/5/2021) sebanyak 3,5 juta korban.
Sementara kajian yang dipublikasikan di The British Medical Journal (BMJ) pada Kamis (20/5/2021) menemukan adanya 979.000 kematian berlebih (excess death) pada tahun 2020 di 29 negara. Semua negara yang dikaji ini mengalami kematian berlebih pada tahun 2020, kecuali Selandia Baru, Norwegia, dan Denmark. Kematian berlebih dipahami sebagai jumlah kematian yang terjadi selama periode pandemi, dibandingkan kematian yang diekspektasi berdasarkan rata-rata tahun sebelumnya.
Baca juga Sejuta Kematian Berlebih di 29 Negara Maju Selama Pandemi
"Lima negara dengan jumlah kematian berlebih absolut tertinggi meliputi Amerika Serikat (458.000 orang), Inggris (94.400 orang), Italia (89.100 orang), Spanyol (84.100 orang), dan Polandia (60.100 orang). Sebaliknya, Selandia Baru memiliki kematian keseluruhan yang lebih rendah dari rata-rata tahunannya (2.500 orang)," tulis Nazrul Islam dari Nuffield Department of Population Health, University of Oxford, yang menjadi penulis pertama kajian ini.
Menurut laporan WHO, kematian Covid-19 merupakan indikator kunci untuk melacak evolusi pandemi. Namun, banyak negara kekurangan sistem pencatatan sipil dan statistik vital yang berfungsi untuk menyediakan data yang akurat, lengkap, dan tepat waktu tentang kelahiran, kematian, dan penyebab kematian. Situasi ini menyebabkan tingginya gap antara data kematian dan kondisi riil.
Perangkat penilaian terbaru WHO terhadap kapasitas sistem informasi kesehatan di 133 negara menemukan bahwa persentase kematian yang tercatat berkisar dari 98 persen di kawasan Eropa hingga hanya 10 persen di kawasan Afrika.
Kematian Covid-19 merupakan indikator kunci untuk melacak evolusi pandemi. Namun, banyak negara kekurangan sistem pencatatan sipil dan statistik vital.
Skor kapasitas sistem informasi kesehatan Indonesia secara keseluruhan sebesar 68 persen. Namun, khusus untuk penghitungan kelahiran, kematian dan penyebab kematian sangat rendah. Hal itu menunjukkan, kemungkinan kesenjangan data amat tinggi antara kematian terkait Covid-19 yang dilaporkan dengan kondisi sesunguhnya.
Kematian di Indonesia
Perhitungan IHME menunjukkan, jumlah kematian karena Covid-19 di Indonesia mencapai 118.796 jiwa pada 13 Mei 2021. Jumlah ini mencapai 2,5 kali lipat lebih banyak dari laporan resmi pemerintah pada tanggal yang sama sebesar 47.150 orang.
Epidemiolog Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) Iqbal Elyazar mengatakan, perhitungan IHME ini sangat realistis. "Angka kematian dari Rumah Sakit Online dan pendataan oleh LaporCovid-19 berdasar laporan kematian di kabupaten/kota juga sekitar dua hingga tiga kali lebih banyak dari laporan resmi," kata Iqbal, yang turut menyimak pemaparan kajian IHME secara daring, pekan lalu.
Baca juga Penyangkal Pandemi Covid-19 dan Kematian Berlebih
Perhitungan tingkat kematian Covid-19 oleh IHME ini didasarkan pada pencatatan tingkat kematian berlebih selama pandemi minggu demi minggu dibandingkan dengan tren dan musim sebelumnya. Besar kecilnya kematian berlebih ini ditentukan oleh enam faktor yang saling berkaitan.
Enam faktor itu merupakan total angka kematian akibat Covid-19, yaitu semua kematian terkait langsung dengan infeksi Covid-19, peningkatan kematian karena perawatan kesehatan yang dibutuhkan tertunda selama pandemi, peningkatan mortalitas akibat peningkatan gangguan kesehatan mental termasuk depresi, peningkatan penggunaan alkohol, dan peningkatan pemakaian opioid.
Pada saat yang sama, selama pandemi terjadi potensi penurunan kematian karena penurunan mobilitas dan angka kecelakaan. Selain itu, terjadi penurunan angka kematian karena berkurangnya penularan virus lain, terutama influenza, virus pernapasan, dan campak.
Penurunan angka kematian disebabkan kondisi kronis, seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit pernapasan kronis, karena individu itu meninggal lebih awal karena Covid-19.
Dengan metode ini, mereka menghitung kematian karena Covid-19 di berbagai negara. Adapun negara dengan kematian tertinggi yakni Amerika Serikat, yang mencapai 912.345 kematian, hampir dua kali lipat dari angka yang dilaporkan pada 13 Mei sebesar 578.555 korban jiwa.
India berada di urutan kedua dengan 736.811 korban jiwa karena Covid-19, jauh lebih tinggi dibandingkan yang dilaporkan sebesar 248.016. Brasil memiliki korban jiwa sebanyak 612.962, dibandingkan yang dilaporkan sebanyak 219.372 orang. Secara berurutan, negara dengan kematian terbanyak berikutnya adalah Inggris, Rusia, Inggris, Iran, Italia, Mesir, Afrika Selatan, Polandia, Peru, Ukraina, Perancis, Spanyol, Jerman, Indonesia, Meksiko, dan Rumania.
Menurut Iqbal, studi IHME ini hanya menghitung kematian karena Covid-19 yang belum dilaporkan. "Kalau total excess death selama pandemi, bisa lebih banyak lagi," tuturnya.
Dia mencontohkan, studi yang dilakukan EOCRU bersama tim menemukan, selama 2015-2019, rata-rata terdapat 26.342 orang meninggal dan dimakamkan di Jakarta dalam kurun Januari hingga Oktober di tiap tahunnya. Namun, selama periode yang sama tahun 2020 ada 42.460 penguburan atau lebih banyak 61 persen dibandingkan dengan rata-rata tahunan. Dari total kematian berlebih ini, 54 persen di antaranya disebabkan langsung oleh Covid-19.
Implikasi kesenjangan data
Epidemiolog Indonesia di Griffith University Dicky Budiman mengatakan, korban jiwa karena Covid-19 di Indonesia bisa lebih tinggi dari pemodelan IHME, jika memperhitungkan faktor perilaku masyarakat. "Kematian akibat Covid-19 di Indonesia bisa dipastikan banyak yang terlewatkan daripada dilebih-lebihkan alias lebih banyak yang tidak terlaporkan," kata dia.
Apalagi, laporan kematian karena Covid-19 di Indonesia selama ini hanya memasukkan yang terkonfirmasi oleh hasil tes. Padahal, jumlah dan cakupan tes dan pelacakan di Indonesia sangat terbatas sehingga banyak orang yang terinfeksi, bahkan meninggal, yang tidak terdeteksi.
Pemodelan IHME menunjukkan, penambahan kasus Covid-19 harian di Indonesia diestimasi mencapai 118.428 orang pada 10 Mei 2020. Namun, jumlah orang yang diperiksa dengan PCR di Indonesia rata-rata masih di bawah 30.000 per hari dan yang terkonfirmasi positif rata-rata 5.000 orang, misalnya pada Senin (24/5) dilaporkan penambahan 5.907 kasus positif.
Selain masalah dalam surveilans dan pelaporannya, menurut Dicky, perilaku masyarakat kita yang umumnya memilih mengobati sendiri penyakit dan belum ke rumah sakit jika belum parah, bisa menyebabkan kematian Covid-19 tak terdata.
"Pascalebaran ini, saya khawatir, kota dan daerah di Indonesia akan mengalami lonjakan kematian di rumah-rumah. Lonjakan kematian yang tidak wajar ini terutama disebabkan oleh adanya kasus Covid-19 yang tidak terdeteksi dan tidak diobati," tuturnya.
Seperti diingatkan WHO, data kematian ini amat penting untuk memahami evolusi pandemi yang saat ini berlangsung, sehingga diharapkan bisa menjadi salah satu dasar dalam pembutan kebijakan untuk mengurangi dampaknya.
Jika masyarakat mengetahui bahwa dampak Covid-19 jauh lebih besar dari yang dilaporkan saat ini, diharapkan bisa lebih menyadari bahaya wabah ini sehingga lebih taat protokol kesehatan. Sebaliknya, data kematian yang cenderung lebih rendah (underreporting) bakal membuat warga semakin abai.
Akurasi data kematian, meliputi rentang umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, hingga perjalanan sakit pasien, sangat penting dalam memperbaiki strategi mitigasi. Misalnya, dari analisis data kematian oleh Dicky menemukan, usia 50 - 59 tahun di Indonesia termasuk rentan meninggal jika terpapar Covid-19.
Karena itu, per 23 Mei 2021, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan memperluas sasaran prioritas vaksinasi mulai dari kelompok usia 50 tahun ke atas, bukan lagi 60 tahun ke atas. Gedung Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Hang Jebat Jakarta menjadi tempat uji coba sasaran vaksinasi kelompok usia itu. (Kompas, Selasa, 25 Mei 2021)
Pada akhirnya, akurasi soal data kematian bukan hanya soal angka-angka statistik. Namun, penting disadari setiap yang meninggal punya wajah dan kisah. Bayangkan saja, puluhan ribu jiwa yang meninggal karena Covid-19 dan tak terlaporkan itu adalah orang-orang terdekat kita....
Korban Jiwa yang Sesungguhnya dari Covid-19 - kompas.id
Read More
No comments:
Post a Comment