Jakarta, CNBC Indonesia- 31 tahun yang lalu, produsen baru bara terbesar PT Bumi Resources Tbk (BUMI) resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan ini sudah berkali-kali bertransformasi dan masih terus melakukannya menuju beyond coal atau tak sekedar produksi batu bara.
Listing pada 30 Juli 1990, BUMI semula adalah emiten properti bernama PT Bumi Modern yang mengelola hotel dan jasa wisata. Permohonan IPO diajukan oleh AJB Bumiputera 1912 (Bumiputera) selaku pemilik 100% saham Bumi Modern, setelah membeli saham Bumi Modern lainnya milik pengusaha nasional Peter Sondakh dan H.A. Latief Thoyeb, masing-masing pada tahun 1983 dan 1985.
Kala itu, BUMI menawarkan 10 juta sahamnya (29% dari total saham disetor) seharga Rp 4.500 per unit, sehingga meraup dana segar Rp 45 miliar. Pasca IPO, publik memiliki 29% saham BUMI dan 71% lainnya dipegang Bumiputera.
Tiga tahun kemudian, investor kelas kakap masuk yakni PT Taspen (persero), PT Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek)-kini PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Pelician Holdings Limited.
Hingga tahun 1997, BUMI memiliki aset perhotelan berupa hotel bintang lima Hyatt Regency Surabaya, yang dikelola oleh Hyatt International Asia Pacific Limited. Di luar itu mereka memiliki aset perkantoran dan bisnis jasa pariwisata.
Perubahan drastis BUMI terjadi setelah pengusaha nasional Grup Bakrie masuk ke perseroan, mengubah secara radikal bisnis intinya, hingga membuat sahamnya meroket ke level tertinggi sepanjang sejarah pencatatannya.
Menurut neraca keuangan BUMI, Grup Bakrie mulai masuk menjadi pemegang saham perseroan pada 20 Juni 1997 atau ketika krisis keuangan Asia mendera, dan menjatuhkan harga aset-aset properti, termasuk yang dikelola Bumi Modern.
Di tengah kondisi krisis yang memicu likuiditas ketat, PT Bakrie Capital Indonesia (Bakrie Capital) masuk menjadi penyelamat dengan melakukan penawaran tender (tender offer) atas saham BUMI sebanyak 25%, setelah mengakuisisi 58,15% saham BUMI milik AJB Bumiputera.
Selanjutnya pada 29 Agustus 1997, Bakrie kembali memperoleh 33,9% saham BUMI milik Bumiputera. Dus, Bakrie Capital memegang 58,9% saham BUMI yang saat itu masih merupakan perusahaan yang bergerak di bisnis perhotelan dan pariwisata.
Foto: Wahyu Daniel
Tambang Kaltim Prima Coal |
Dengan kepemilikan di atas 51%, maka Grup Bakrie resmi menjadi pengendali perusahaan tersebut. Di bawah kepiawaian Nirwan Bakrie, BUMI yang telah memiliki aset KPC dan Arutmin terus berkembang menjadi eksportir terbesar batu bara nasional.
Di bawah tangan dingin keluarga Bakrie, BUMI hijrah dari bisnis properti ke bisnis minyak, gas alam dan pertambangan dengan akuisisi aset tambang raksasa. Dari Gallo Oil pada 2000, hingga Arutmin pada 2004 serta Kaltim Prima Coal (KPC) pada 2005.
BUMI kian berkembang menjadi perusahaan berskala global menyusul masuknya investor-investor kelas kakap dunia. Sebut saja grup konglomerasi asal India, yakni Tata Power. Berbasis di negara konsumen terbesar batu bara kedua dunia, Grup Tata pada 2007 meneken kesepakatan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas di KPC sebesar 65%.
Pada 2009, investor besar asal Negeri Tirai Bambu yakni China Investment Corporation (CIC) berinvestasi senilai US$ 1,9 miliar dalam bentuk utang. Belakangan, sebagian utang dikonversi menjadi saham sehingga CIC menjadi pemegang saham pengendali (dengan porsi 22,7%).
Dengan demikian, kiprah Bakrie di BUMI kini tidak lagi absolut, melainkan diputuskan bersama-sama dengan CIC dan Tata, yang notabene merupakan perusahaan kelas dunia yang sama-sama menggeluti industri batu bara.
Dengan dukungan kedua investor tersebut, BUMI mengamankan pasar utama batu bara konvensional dunia, yakni China dan India, selain pasar batu bara dalam negeri. Tidak berhenti sampai di sana, BUMI kini menggarap batu bara bersih, dengan program hilirisasi.
Salah satunya dengan membentuk konsorsium bersama Bakrie Capital, PT Ithaca Resources, dan Air Products untuk membangun industri metanol senilai US$ 2 miliar atau setara Rp 30 triliun (asumsi kurs Rp 14.900/US$) di Batuta Industrial Chemical Park, Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Menurut AirProduct, proyek skala global tersebut memungkinkan produksi metanol hingga 2 juta per ton per tahun, yang berasal dari batu bara sebanyak 5 juta-6 juta ton per tahun. Produksi ditargetkan efektif dimulai pada tahun 2024.
Begitulah cerita 31 tahun BUMI listing di Bursa Efek Indonesia, dari properti, batu bara, hingga beyond coal. Tentunya cerita BUMI belum selesai dan masih menarik untuk ditunggu.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob)
31 Tahun IPO BUMI, Dari Properti Hingga Beyond Coal - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment