KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Forum G20 telah menyepakati adanya tarif pajak minimum perusahaan multinasional sebesar 15% atas penghasilan bruto minimal EUR 750 juta di negara terkait. Konsensus tersebut, tentunya bisa menguntungkan atau merugikan Indonesia sebagai anggota G20.
Kebijakan perpajakan internasional itu tertuang dalam cetak biru yang ada dalam proposal Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization of the Economy. Selanjutnya, G20 akan membahasnya di pertemean mendatang dan diharapkan bisa diimplementasikan pada 2023.
Dalam pertemuan yang digelar pada pertengahan Juli lalu, secara bersamaan G20 mengeluarkan ketentuan carve-out atau tambahan potongan pajak sebesar 5% bagi negara-negara berkembang dalam Pilar 2 perpajakan internasional tersebut. Tujuannya sebagai daya tarik para investor asing.
Baca Juga: Kapal pesiar dan yacht kini bebas PPnBM 75%, ini ketentuannya
Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Pande Oka Putu mengatakan, pemerintah Indonesia mendukung adanya solusi yang bersifat multilateral tersebut. Dengan pajak minimum perusahaan multinasional, diyakini bisa mengatasi terjadinya penggerusan basis pajak akibat adanya base erosion profit shifting (BEPS).
Menurut Oka, manfaat lainnya yakni guna menghentikan tren race to the bottom negara-negara yang memberikan tarif pajak rendah atau di bawah rata-rata global. Sehingga, dengan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan yang berlaku saat ini sebesar 22% dan tahun depan turun jadi 20%, pajak Indonesia bisa lebih kompetitif
“Pemberlakuan kesepakatan global tersebut, termasuk ruang carve out-nya, merupakan kesempatan bagi semua negara, termasuk Indonesia, untuk melakukan introspeksi melihat kembali kebijakan insentif pajak yg ada sehingga dapat lebih optimal dalam mencapai tujuannya,” kata Oka kepada Kontan.co.id, Jumat (30/7).
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu Mekar Satria Utama menambahkan adanya patokan tarif pajak itu, maka race to the bottom terkait tarif pajak PPh Badan akan terhenti setidaknya di besaran 15%. “Sehingga membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia di masa depan tidak lagi memberikan insentif asing dalam bentuk insentif pajak, tetapi pada insentif kemudahan usaha, biaya buruh murah, infrastruktur yang baik,” kata Mekar kepada Kontan.co.id, Jumat (30/7).
Menurut Mekar, besaran tarif pajak Indonesia saat ini sudah cukup ideal. Kalau tarif PPh Badan Indonesia rendah seperti beberapa tax haven atau di bawah tarif global minimum, maka Indonesia tidak akan dapat benefit lagi. “Tarif pajak rendah memberikan insentif pajak rendah itu malahan seperti memberikan subsidi kepada negara di mana induk perusahaan tersebut berada,” ujar Mekar.
Baca Juga: Masih terdampak pandemi, IMF ramal defisit APBN 2021 bakal mencapai 6,2% dari PDB
Setali tiga uang, apabila konsensus perpajakan internasional Indonesia dilaksanakan tahun 2023, dengan tarif efektif PPh Badan yang nantinya sebesar 20%, maka pemerintah bisa tetap mengakomodir pemberian insentif pajak seperti tax holiday. “Yang jelas, dengan menjadi negara yang menandatangani Global Consensus, tetap akan memberikan benefit bagi Indonesia,” kata Mekar.
Di sisi lain, Organisation for Economics Co-operation and Development (OECD) dalam laporannya yang terbaru berjudul Corporate Tax Statistics - Third Edition menyatakan Pilar 2 konsensus perpajakan internasional dibutuhkan bagi negara-negara berkembang. Sebab, kontribusi penerimaan pajak korporasi harus menjadi tulang punggung penerimaan negara, sejalan dengan peningkatan belanja untuk mengakselerasi ekonomi.
Menimbang untung-rugi dari tarif pajak minimum 15% untuk perusahaan multinasional - Kontan
Read More
No comments:
Post a Comment