Penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) unicorn digadang-gadang menjadi oasis di tengah pandemi Covid-19 yang melanda pasar modal Tanah Air. Meski begitu kinerja saham unicorn pertama yang melantai, PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), mengalami turbulensi sejak IPO.
Bukalapak melepas 25,76 miliar saham baru atau sekitar 25%, dengan harga penawaran Rp 850 pada 6 Agustus 2021. Optimisme investor terlihat pada hari pertama melantai di bursa pada Jumat (6/8), ketika harga sahamnya langsung menguat 24,71% menjadi Rp 1.060. Namun, pada hari perdananya, asing menjual dengan nilai bersih Rp 279,8 miliar.
Pada perdagangan hari kedua, Senin (9/8), harga saham Bukalapak ditutup menguat 4,72% menjadi Rp 1.110. Namun, penguatan itu terbatas dibandingkan awal perdagangan yang sempat naik 25% menjadi Rp 1.325. Investor asing lagi-lagi menjual dengan nilai bersih Rp 685,02 miliar.
Tampaknya, penguatan yang mulai terbatas tersebut menjadi sinyal penurunan harga saham Bukalapak pada hari-hari berikutnya. Pada Selasa (10/8), harga saham Bukalapak langsung anjlok dan ditutup turun 6,76% menjadi Rp 1.035. Kala itu, investor asing menjual saham perusahaan e-commerce ini dengan nilai bersih mencapai Rp 166,8 miliar.
Setelah perdagangan libur pada Rabu, 12 Agustus 2021, saham Bukalapak mengalami penurunan signifikan lagi sebesar 6,76% menjadi Rp 965 pada hari berikutnya. Kali ini, investor asing melakukan penjualan dengan nilai bersih bahkan mencapai Rp 880,67 miliar.
Pada penutupan perdagangan Jumat, 13 Agustus 2021, harga saham Bukalapak kembali ditutup turun. Kali ini terjadi penurunan sebesar 1,04% menjadi Rp 955 per saham. Hari ini, terlihat investor asing mulai kembali masuk ke saham ini dengan nilai beli bersih Rp 310 miliar di seluruh pasar.
Sepekan di bursa, saham Bukalapak secara total mampu naik 12,35% menjadi Rp 955. Meski begitu, investor asing tercatat berbondong-bondong menjual saham Bukalapak. Tercatat sejak IPO di pasar modal, investor asing telah menjual saham anak usaha PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) ini dengan nilai bersih Rp 1,71 triliun di seluruh pasar.
Meski harga fluktuatif, saham Bukalapak nyatanya diminati oleh banyak investor. Hal itu terlihat dari volume, nilai, dan frekuensi transaksi pada saham Bukalapak yang mampu menempati puncak dibanding emiten-emiten lainnya.
Berdasarkan data RTI Infokom, total volume saham Bukalapak yang diperdagangan selama sepekan ini mencapai 11,1 miliar unit saham. Jauh di atas peringkat kedua yaitu PT BPD Banten Tbk (BEKS) yang totalnya hanya 7,5 miliar unit saham.
Nilai transaksi Bukalapak selama sepekan juga menjadi yang paling banyak yaitu mencapai Rp 11,9 triliun. Nilainya juga berbeda signifikan dibandingkan peringkat di bawahnya yaitu PT Bank Neo Commerce tbk (BBYB) yang nilai transaksinya Rp 3,5 triliun.
Sementara itu, frekuensi perdagangan pada saham Bukalapak juga menjadi yang terbanyak sepekan yaitu 518 ribu kali. Saham Bank Neo Commerce menduduki peringkat berikutnya, dimana saham ini ditransaksikan hanya sebanyak 349 ribu kali.
Tinggi aktivitas perdagangan Bukalapak ini memang tercatat berasal dari investor domestik. Namun, respons investor ritel domestik pada saham Bukalapak yang dalam beberapa hari terakhir ini turun, ditumpahkan melalui berbagai media.
Seperti kekecewaan yang dilampiaskan melalui kolom ulasan aplikasi Bukalapak di Play Store. Akun bernama weed33 yang melampiaskan kekecewaannya dengan memberikan satu bintang dan menilai Bukalapak mau mengambil uang investor lokal ritel karena investor asing melakukan penjualan.
"Tidak berguna punya penjamin emisi efek berjibun (banyak) kalau tidak bisa menjaga kepercayaan investor," kata akun tersebut yang diunggah pada Kamis (12/8) kemarin.
Kekecewaan juga dilampiaskan melalui kolom komentar akun Instagram @bukalapak. Pada unggahan Bukalapak pada Selasa (10/8), pemilik akun @yudikita merasa gagal mendapatkan keuntungan hingga 55% dari saham Bukalapak.
"Gagal dapat profit (untung) 55%, tapi cuma dapat 21% karena jual di harga auto rejection bawah (ARB) kemarin. Tidak apa-apa lah," tulis akun tersebut.
Harga saham Bukalapak sepekan di bursa memang bertolak belakang dengan euforia investor saat Bukalapak tengah dalam proses melantai di Bursa. Saat proses penawaran awal (bookbuilding), tercatat jumlah pemesanan melalui metode penjualan terpusat (pooling allotment) mencapai sekitar Rp 4,8 triliun.
Berkat antusiasme investor umum sangat besar tersebut, Bukalapak menambah porsi pooling allotment bagi investor retail, dari semula 2,5% menjadi 5% dari total pemesanan yang tersedia. Oleh karena itu, nilai dari saham yang dialokasikan untuk porsi itu bagi retail naik menjadi Rp 1,1 triliun dari yang sebelumnya Rp 547,5 miliar.
"Kalau cerita khusus di IPO, kami lihat subscription cukup banyak, hampir 100 ribu investor yang masuk. Tentunya mayoritas investor domestik," kata Direktur Utama Bukalapak Rachmat Kaimuddin dalam konferensi pers terkait dengan IPO, Jumat (6/8).
Kedatangan Bukalapak di lantai bursa nasional juga seperti mendapat sambutan karpet merah dari sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara. Terbukti, Bukalapak menayangkan video sambutan 10 menteri dalam konferensi pers pada hari IPO.
Video sambutan dibuka oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Video dilanjutkan dengan ucapan selamat dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyusul memberikan sambutan dan apresiasi.
Tak mau kalah, jajaran menteri lainnya juga meramaikan IPO Bukalapak. Seperti Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Mengapa Saham Bukalapak Turun Setelah naik Signifikan saat IPO?
Harga saham Bukalapak yang dalam tiga perdagangan terakhir ini tercatat mengalami penurunan, menimbulkan pertanyaan apakah investor masih ragu terhadap kinerja Bukalapak, mengingat perusahaan belum untung dan harus disuntik modal terus?
Dalam laporan keuangan, entitas usaha Emtek Group ini tercatat masih membukukan rugi bersih Rp 323,24 miliar pada triwulan I-2021. Meski begitu, kerugian Bukalapak memang menurun 17,85% dibanding rugi bersih pada periode sama tahun lalu Rp 393,49 miliar.
Berdasarkan prospektus Bukalapak, penurunan rugi bersih tersebut utamanya disebabkan oleh pendapatan neto Bukalapak pada tiga bulan pertama tahun ini yang senilai Rp 423,7 miliar atau tumbuh 32,31% dibanding triwulan I-2020 senilai Rp 320,23 miliar.
Bukalapak juga masih mengandalkan dana dari penambahan setoran modal untuk menjaga arus kas agar tidak negatif. Berdasarkan laporan keuangan, Bukalapak membukukan kenaikan neto kas dan setara kas senilai Rp 167,75 miliar pada Maret 2021.
Bukalapak menggunakan kas untuk aktivitas operasi pada tiga bulan pertama 2021 senilai Rp 259,17 miliar. Padahal kas yang diperoleh dari aktivitas operasi hanya Rp 11.55 miliar. Untuk itu, Bukalapak mendapatkan kas yang diperoleh dari aktivitas pendanaan mencapai Rp 415,37 miliar pada Maret 2021.
Meski begitu, Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Hariyanto Wijaya menilai penurunan harga saham Bukalapak dalam tiga perdagangan terakhir, karena ada sebagian kecil investor asing yang melakukan aksi ambil untung alias take profit setelah masuk di harga IPO.
"Menurut pandangan saya, penurunan harga saham Bukalapak bukan karena keraguan investor terhadap kinerja Bukalapak," kata Hariyanto kepada Katadata.co.id, Jumat (13/8).
Hariyanto mengatakan, investor tidak khawatir dengan saham perusahaan-perusahaan teknologi yang melantai di Bursa, meski saat banyak perusahaan yang belum membukukan laba bersih dan mengandalkan prospek ke depannya.
Ia mengatakan, syarat perusahaan teknologi untuk dapat kepercayaan dari investor adalah memiliki manajemen yang kredibel, investor strategis terkemuka, strategi yang jelas, dan pangsa pasar yang dominan dan terus meningkat.
Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menilai, turbulensi pada saham Bukalapak bisa terjadi karena ada banyak persepsi di kalangan pelaku pasar saham terhadap saham ini.
Ia mengatakan, ada banyak investor yang menilai harga penawaran umum perdana saham Bukalapak Rp 850 per saham kemahalan. Tapi, sebagian lainnya mengatakan harganya murah. Hal tersebut dilihat dari rasio-rasio valuasi saham yang berbeda.
"Tentu ini sesuatu yang wajar, persepsinya berbeda. Karena persepsinya berbeda yang membuat saham Bukalapak menjadi atraktif," kata Nico kepada Katadata.co.id, Jumat (13/8).
Sejumlah investor menggunakan perhitungan valuasi dengan enterprise value (EV) dibandingkan gross merchandise value (GMV) untuk mengukur perusahaan rintisan atau startup. EV merupakan nilai kapitalisasi pasar yang ditambah utang bank, lalu dikurangi uang kas.
GMV merupakan akumulasi nilai pembelian, termasuk transaksi batal. Sementara, Bukalapak menggunakan perhitungan total processing value (TPV) alias perhitungan transaksi yang sudah diproses sehingga dinilai lebih akurat. Dalam perhitungan valuasi Bukalapak, TPV menggantikan GMV.
Analis Sucor Sekuritas Paulus Jimmy mengatakan, valuasi Bukalapak saat penawaran umum perdana di harga Rp 850 per saham terbilang menarik. Valuasi EV/GMV yang menggunakan TPV berada pada level 0,75 kali atau lebih rendah dibandingkan perusahaan serupa.
"Jika coba hitung perbandingannya menggunakan GMV aslinya, dengan asumsi GMV Bukalapak sama dengan 1,25 kali TPV, rasio EV/GMV akan turun lebih rendah lagi menjadi 0,60," kata Paulus dalam risetnya.
Untuk itu, Sucor Sekuritas mempertahankan pandangan konstruktif tentang Bukalapak sebagai e-commerce dengan harga paling menarik di antara perusahaan sejenis di negara berkembang.
Sementara itu, cara perhitungan valuasi perusahaan yang umum dipakai untuk semua emiten adalah rasio price to book value (PBV). Berdasarkan data yang dimiliki Katadata.co.id, saat harga saham Bukalapak mencapai Rp 1.325 per saham, rasio PBV Bukalapak mencapai 85,5 kali yang artinya sudah tergolong mahal.
Secara umum, Nico Demus mengatakan turbulensi harga saham perusahaan teknologi, termasuk berstatus unicorn atau decacorn, merupakan hal yang wajar. Pasalnya, secara laporan keuangan memang perusahaan tersebut belum sekinclong perusahaan besar lain.
Menurutnya, perhitungan perusahaan teknologi atau perusahaan rintisan tidak bisa hanya mengandalkan laporan keuangan di atas kertas saja. "Melainkan juga harus menilai seberapa besar potensi valuasi di masa akan datang," kata Nico.
Hariyanto mengatakan, pelaku pasar perlu bercermin dari kinerja saham perusahaan teknologi di bursa saham luar negeri. Beberapa saham teknologi yang terdaftar di bursa saham Amerika pun masih mencatat net loss, tapi harga saham perusahaan teknologi tersebut naik.
"Ini terjadi seiring dengan kenaikan kinerja operasional, seiring dengan kenaikan penjualan perusahaan teknologi tersebut," kata Hariyanto.
Ia memberikan contoh, Pinduoduo, perusahaan teknologi e-commerce Tiongkok yang IPO di bursa saham Amerika Serikat pada Juli 2018. Saat itu, perusahaan menawarkan harga IPO sebesar US$ 19 per saham. Harga saham Pinduoduo terus mengalami kenaikan sampai mencapai puncaknya sebesar US$ 202 pada Februari 2021.
Kenaikan harga saham tersebut seiring dengan penjualan kuartalannya terus naik signifikan dari CNY 3,3 miliar pada triwulan III-2018 menjadi CNY 26,5 miliar pada triwulan IV-2020.
"Pinduoduo tidak pernah membukukan operasional profit sejak dari IPO sampai dengan saat ini," kata Hariyanto.
Untuk itu, Hariyanto menilai prospek IPO perusahaan rintisan berstatus unicorn atau bahkan lebih besar lagi, masih cerah. Asalkan perusahaan teknologi tersebut memiliki manajemen yang kredibel, investor strategis terkemuka, strategi yang jelas, dan pangsa pasar yang dominan dan terus meningkat.
Menakar Nasib IPO Unicorn dari Turbulensi Harga Saham Bukalapak - Katadata.co.id
Read More
No comments:
Post a Comment