Rechercher dans ce blog

Monday, September 13, 2021

Rumitnya Masalah Stunting, dari Kesehatan hingga Sosial Budaya - Kompas.com - Nasional Kompas.com

KOMPAS.com – Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan kasus stunting tertinggi di dunia. Stunting adalah kondisi anak yang memiliki tinggi badan tidak sesuai dengan usianya.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia dan ke-2 di Asia Tenggara sebagai negara dengan angka stunting yang tinggi.

Fasilitator Kementerian Sosial (Kemensos) Widyaiswara mengatakan, hal tersebut bukanlah pencapaian yang patut dibanggakan dan dapat menjadi ancaman bagi masa depan Indonesia beberapa tahun ke depan.

Dia menjelaskan, dampak jangka panjang dari stunting adalah risiko terkena penyakit degeneratif sampai dengan gangguan perkembangan kognitif sehingga dapat berimbas pada penurunan pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.

“Oleh karenanya, pemerintah menjadikan penurunan angka stunting menjadi program prioritas nasional dengan target penurunan sampai dengan 14 persen pada 2024,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (13/9/2021).

Baca juga: Menko PMK: Stunting Merupakan Ancaman bagi Pembangunan SDM

Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email

Widyaiswara menegaskan, stunting menjadi momok dalam pembangunan masyarakat Indonesia, khususnya bagi keluarga prasejahtera sebagai kelompok masyarakat rentan.

Sebab, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), keluarga prasejahtera merupakan kelompok yang tidak dapat memenuhi salah satu dari enam kebutuhan dasar keluarga, seperti kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.

“Memang, tidak semua anak dari keluarga prasejahtera mengalami kekurangan gizi, namun keterbatasan akses terhadap informasi yang berkualitas dan lemahnya pengetahuan terkait pencegahan stunting menempatkan anak-anak dari keluarga pra sejahtera berpotensi mengalami stunting,” jelasnya.

Widyaiswara menjelaskan, penyebab stunting bukan hanya permasalahan kemiskinan yang berdampak pada kekurangan gizi pada ibu dan anak. Bahkan, Stunting juga disebabkan konstruksi sosial budaya yang ada di masyarakat.

Dia menyebutkan, kebiasaan turun temurun di masyarakat memengaruhi pola asuh maupun cara hidup manusia. Beberapa kebiasaan tersebut diketahui kurang sesuai dalam praktik pencegahan stunting.

Baca juga: Stunting, Apa Hubungannya dengan Kecerdasan Anak?

“Sebagai contoh, di sebagian budaya di Indonesia yang sangat mengedepankan posisi suami atau anak laki-laki, akan lebih mengutamakan para suami atau anak laki-laki untuk mengonsumsi makanan yang mengandung nilai gizi tinggi dibandingkan Ibu yang sedang hamil atau anak perempuan,” paparnya.

Fasilitator Kementerian Sosial (Kemensos) Widyaiswara.DOK. Humas Tanoto Fasilitator Kementerian Sosial (Kemensos) Widyaiswara.

Dia juga mencontohkan, tradisi pemberian makan pisang pada bayi usia di bawah enam bulan agar anak kenyang dan tidak rewel masih banyak dilakukan. Padahal, pada periode tersebut asupan gizi terbaik bagi bayi adalah air susu ibu (ASI) eksklusif.

Widyaiswara mengatakan, fenomena ini mengisyaratkan bahwa penanganan stunting dan faktor sosial budaya masyarakat menjadi dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.

“Kondisi yang sama dialami mayoritas keluarga prasejahtera, bahkan dapat berpotensi semakin kompleks,” tuturnya.

Selain menghadapi persoalan sosial budaya, keluarga prasejahtera juga banyak mengalami masalah lainnya, seperti lemahnya pemahaman masyarakat terkait pola asuh dan pemberian gizi yang baik kepada anak.

Baca juga: Menkes: Penanganan Stunting Akan Terus Dilakukan Hingga Tak Jadi Masalah di Indonesia

“Bahkan, banyak dari keluarga prasejahtera yang berada di pelosok Indonesia masih sulit mengakses layanan kesehatan atau tidak mudah untuk mendapatkan bahan pangan yang bergizi dikarenakan letak geografis,” imbuh Widyaiswara.

Meningkatkan SDM Kemensos

Kasus stunting telah menjadi agenda pembangunan pemerintah yang dirumuskan dalam Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting Tahun 2018 – 2024.

Agenda tersebut menekankan konvergensi antara pemerintah pusat dan daerah serta mendorong peran dan program multisektor. Salah satunya adalah penyediaan layanan kesehatan dan ketersediaan bahan pangan bergizi.

Mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang beragam dan memiliki konteks budaya yang berbeda-beda, Widyaiswara menilai, pemerintah perlu menyertai penyediaan layanan dengan perubahan perilaku praktik pencegahan stunting di masyarakat.

Baca juga: Menko PMK Ungkap Penyebab Tingginya Angka Stunting di Indonesia

Salah satunya adalah melalui penyediaan sumber daya manusia (SDM) Kemensos sebagai agen perubahan.

Dalam hal ini, Kemensos memiliki SDM di lapangan yang sangat dekat dengan keluarga prasejahtera, yaitu SDM Kesejahteraan Sosial (Kesos) terdiri dari Pekerja Sosial, Penyuluh Sosial, Tenaga Kesejahteraan Sosial ataupun Relawan Sosial.

SDM Kesos bertugas sebagai pendamping penyaluran bantuan sosial (bansos), seperti pendamping sosial Program Keluarga Harapan (PKH) atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang memang langsung menyasar kepada keluarga pra sejahtera.

Widyaiswara menegaskan, peran SDM Kemensos sangat strategis dalam memberikan pemahaman kepada keluarga prasejahtera terkait pencegahan dan penanganan stunting.

“Peran ini bukan untuk menggantikan peran tenaga kesehatan namun lebih spesifik pada pendampingan praktik-praktik pencegahan stunting di keluarga,” sebutnya.

Baca juga: Wapres Minta Pemda Petakan Kembali Program Stunting di Daerah

Selain itu, tingkat kepercayaan keluarga prasejahtera kepada SDM Kesos menjadi nilai tambah bagi SDM Kesos untuk mendampingi keluarga pra sejahtera melakukan perubahan perilaku guna mendukung pencegahan stunting sesuai dengan perilaku kolektif budaya setempat.

“Untuk itu, peningkatan kapasitas kepada para SDM Kesos sangat dibutuhkan agar informasi dan pendampingan yang disampaikan dan strategi yang dilakukan ke masyarakat lebih tepat dan akurat, serta mereka mampu bermitra dengan para pemberi layanan,” jelasnya.

Gotong royong dengan swasta cegah stunting

Selain konvergensi antara pemerintah pusat dan daerah, upaya pencegahan stunting juga melibatkan pihak swasta, salah satunya dalam upaya peningkatan kapasitas SDM di lapangan.

Baru-baru ini, Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Kemensos bersinergi dengan Tanoto Foundation mengembangkan modul pelatihan pencegahan dan penanganan stunting bagi SDM Kesos.

Baca juga: Wapres Sebut Kendala Atasi Stunting Bukan Anggaran, melainkan Konvergensi Antar-program

Beberapa isu menarik yang menyasar baik penyebab langsung atau penyebab tidak langsung dari stunting dibahas dalam modul pelatihan ini.

Sebagai contoh, modul Mendorong Keluarga Agar Mendukung Pemenuhan Kesejahteraan Ibu Hamil, Bayi Baru Lahir, Dan Ibu Menyusui.

Modul tersebut juga mendorong keluarga memberikan stimulasi pada anak, memotivasi keluarga memanfaatkan bansos untuk pemenuhan gizi bagi anak dan ibu hamil, mendorong perilaku hidup bersih dan sehat, serta mendorong keluarga melihat potensi diri sehingga dapat mencegah stunting.

Modul itu mengusung konsep pemberdayaan komunitas dan keluarga, dengan harapan pencegahan stunting dapat dilakukan mulai dari level keluarga sampai level masyarakat.

“Jika melihat keseluruhan isi, modul ini didesain secara apik dengan berusaha menjawab kondisi sosial budaya yang beragam, serta dikemas secara praktis,” ujar Widyaiswara.

Baca juga: Mendagri: Prevalensi Stunting Tahun 2019 Capai 27,7 Persen

Dengan begitu, modul tersebut akan memudahkan para SDM Kesos untuk menyampaikan pesan kepada keluarga prasejahtera secara sederhana dan mudah dipahami.

Pada 2021, Kemensos menggelar pelatihan modul ini secara serentak di seluruh Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan dengan menggunakan metode pembelajaran daring kepada Pendamping PKH sebagai sasaran utama.

Kemensos menargetkan 14.399 pendamping PKH sudah mendapatkan pelatihan pada 2021. Saat ini, peserta yang sudah mendapatkan pelatihan sudah mencapai 8,000 orang.

SDM Kesos juga menghadapi berbagai tantangan dalam mengikuti pelatihan, seperti berjuang naik turun gunung untuk mencari sinyal internet agar dapat mengikuti pembelajaran.

Namun, di luar itu semua, SDM Kesos merasakan manfaat yang luar biasa setelah mendapatkan materi pelatihan ini.

Baca juga: Mendagri Minta Pemda Serius Alokasikan Anggaran Tangani Stunting

Salah satu peserta asal Tojo Una -Una, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Jokoswito mengaku, materi-materi pelatihan kali ini memiliki manfaat yang luar biasa.

“Bukan hanya bagi Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tapi juga sangat bermanfaat bagi SDM PKH yang sudah berkeluarga, dan bagi SDM PKH yang belum berkeluarga,” sebutnya.

Dia menyebut, materi-materi di pelatihan kali ini akan sangat bermanfaat saat mayarakat hendak membangun rumah tangga dari awal.

Ke depan, Kemensos menargetkan pelatihan bagi seluruh SDM Kesos secara bertahap, khususnya para pendamping PKH di seluruh Indonesia berjumlah sekitar 37.000 orang.

Setelah mendapatkan pelatihan ini, peserta akan memberikan informasi yang telah didapat kepada KPM dampingan para SDM Kesos melalui pertemuan bulanan, seperti Pertemuan Peningkatan Kapasitas Keluarga (P2K2) yang diadakan rutin bagi KPM PKH.

Baca juga: Dampak Pandemi, Kemenkeu: Anak Usia 0-2 Tahun Berpotensi Tinggi Kena Stunting

Upaya itu diharapkan dapat menjadi salah satu cara mendorong penurunan angka stunting di Indonesia. (Widyaiswara/Kemensos)

Adblock test (Why?)


Rumitnya Masalah Stunting, dari Kesehatan hingga Sosial Budaya - Kompas.com - Nasional Kompas.com
Read More

No comments:

Post a Comment

Korsel Targetkan 300 Ribu Wisatawan dari Indonesia pada 2022 - Republika Online

Kunjungan wisatawan Indonesia ke Korea Selatan anjlok pada 2020 dan 2021. REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Korea Selatan (Korsel) menargetkan kun...