Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis energi yang melanda di beberapa negara membuat rantai pasokan terganggu dan akan menyebabkan inflasi berpotensi meninggi kembali, utamanya negara-negara maju yang sedang giat-giatnya menjalankan program emisi karbon dan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT).
Seperti halnya yang terjadi pada komoditas minyak mentah dunia, di mana harga minyak mentah telah melonjak ke level tertingginya dalam 7 tahun terakhir, karena kuatnya permintaan terhadap komoditas tersebut dan kurang lancarnya rantai pasokan.
Harga minyak mentah jenis Brent melesat 66% ke level tertingginya di US$ 85/barel pada tahun ini.
Namun di India dan Indonesia, inflasi ke depannya berbeda dari beberapa negara, terutama negara-negara maju yang kini sedang dilanda krisis energi.
Menurut Radhika Rao, ekonom senior dari DBS Group, bank asal Singapura, meskipun kenaikan inflasi India cenderung berbeda dari negara-negara lainnya, namun investor tetap mengkhawatirkan hal tersebut karena saat ini, India pun juga sedang dihadapi oleh krisis energi listrik.
"Jalur inflasi konsumen India kemungkinan akan berbeda dalam menghadapi reli harga minyak global baru-baru ini," kata Rao dalam laporan risetnya, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (28/10/2021).
Impor minyak menyumbang hampir 75-80% dari kebutuhan India. Selain itu, liberalisasi sebagian besar jenis bahan bakar telah membuat harga domestik lebih sensitif terhadap tren global.
|
Dari sisi indeks harga konsumen (IHK), bahan bakar India memiliki bobot sebesar 6,8%, untuk kebutuhan transportasi dan sebesar 6,8% untuk sektor komunikasi (T&C).
Indeks bahan bakar India mengalami kenaikan dengan rata-rata sebesar 11,9% secara tahunan (year-on-year/YoY), terutama untuk periode April-September.
Menurut bank sentral India (Reserve Bank of India/RBI), dampak langsung dan tidak langsung dari bobot bahan bakar dan produk terkait dalam hubungannya dengan inflasi, menyiratkan bahwa untuk setiap pergerakan sebesar US$10/barel dalam harga minyak, berpotensi mengalami perubahan sebesar 30 hingga 40 basis poin (bp) dalam IHK utama.
Rao memperkirakan inflasi India pada periode Oktober hingga November mendatang akan mengalami penurunan sedikit ke level 4%. Tetapi pada kuartal pertama tahun 2022, investor perlu waspada, di mana inflasi India berpotensi melonjak kembali ke level 5,5%-6%.
"Inflasi pada kuartal I-2021 berpotensi melonjak karena harga energi yang meninggi, tekanan harga input, dibukanya kembali sektor jasa, dan faktor iklim. Kami memperkirakan bahwa inflasi India pada tahun 2022 berada di level 5,2%." ujar Rao dalam laporan risetnya.
Risalah terbaru dari pertemuan kebijakan RBI MPC pada Oktober 2021 menunjukkan meningkatnya kekhawatiran yang diungkapkan oleh anggota non-RBI akibat kelebihan likuiditas dan inflasi yang meninggi.
"Dengan keputusan tentang reverse repo rate dan Variable Reverse Repo Rates (VRRR) berada di tangan RBI, kami mengharapkan mereka untuk mempertimbangkan melakukan perubahan kebijakan moneter secara bertahap mulai akhir 2021. Namun kami memperkirakan RBI tetap akan mempertahankan suku bunganya setidaknya sampai semester 2 tahun 2022." tambah Rao.
NEXT: Bagaimana dengan Indonesia?
Hantu Krisis Energi, Begini Ramalan Inflasi India-RI dari DBS - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment