Bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) akan melakukan tapering off akhir November 2021. Artinya, bank sentral AS ini akan mulai mengurangi stimulus moneter dalam waktu dekat.
Stimulus moneter itu tadinya dikeluarkan saat perekonomian AS terancam dan membutuhkan banyak suntikan likuiditas.
Likuiditas bisa diberikan dengan memangkas suku bunga acuan bank ke level yang sangat rendah hingga nol persen. Hal ini dibutuhkan untuk mendorong pelaku usaha mengajukan kredit, sehingga uang tetap beredar di masyarakat.
Selain itu, likuiditas juga bisa diberikan dalam bentuk pembelian surat utang negara. Pembelian dilakukan demi memastikan pemerintah memiliki likuiditas yang cukup untuk menangani ketidakpastian ekonomi.
Dengan kebijakan ini, The Fed akan memotong pembelian obligasi menjadi US$10 miliar untuk surat berharga dan US$5 miliar untuk hipotek. Namun mereka akan tetap membeli setidaknya US$70 miliar surat berharga dan US$35 miliar hipotek untuk bulan ini.
Mulai Desember, pembelian surat berharga dan hipotek akan mulai diturunkan menjadi masing-masing US$60 miliar dan US$30 miliar.
Tapering biasanya akan menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Sebab, dolar AS otomatis menguat terhadap hampir seluruh mata uang, termasuk rupiah.
Selain itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga akan kecipratan sentimen negatif jika rupiah melemah terhadap dolar AS. Pasar saham berpotensi berfluktuasi.
Lalu, bagaimana agar investasi tetap aman di tengah kebijakan tapering off yang dilakukan oleh The Fed?
1. Tujuan Investasi
Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia Andi Nugroho mengatakan masyarakat perlu melihat lagi tujuan investasi. Apakah tujuannya untuk jangka panjang atau jangka pendek.
"Kalau menabung saham untuk jangka panjang, ya santai saja. Tidak perlu ribut. Justru kalau harga saham turun, bisa beli lagi," ungkap Andi kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/11).
Sebaliknya, jika tujuan investasi jangka pendek atau trading, maka masyarakat harus segera ambil tindakan. Jika ada portofolio di saham dan sudah menunjukkan tren penurunan, sebaiknya dijual.
"Kalau trading sebaiknya siap, entah quit dari sekarang atau tunggu. Perhatikan pola geraknya," terang Andi.
2. Cut Loss Saham
Andi mengingatkan masyarakat yang berinvestasi di saham untuk menentukan titik cut loss. Artinya, level di mana investor menjual saham dengan harga lebih murah dari harga beli.
"Biasanya cut loss 3 persen-5 persen," kata Andi.
Dengan kata lain, jika saham sudah turun dalam rentang 3 persen-5 persen, maka sebaiknya dijual. Hal ini untuk mengantisipasi kerugian yang semakin dalam.
3. Pindah ke Investasi Berisiko Rendah
Andi juga mengatakan masyarakat dapat memindahkan sebagian investasinya dari instrumen berisiko tinggi ke instrumen berisiko rendah yang pergerakannya tak signifikan.
Kalau pun turun, kerugiannya tidak dalam. Begitu juga kalau harganya naik, keuntungan yang didapat tipis-tipis.
Contoh investasi berisiko rendah, yaitu emas, obligasi, dan deposito. Sementara, investasi berisiko tinggi, seperti saham, valuta asing (valas), bitcoin, dan reksa dana berbasis saham.
Senada, Perencana Keuangan dari One Shildt Financial Planning Imelda Tarigan berpendapat masyarakat sebaiknya berinvestasi di instrumen rendah risiko.
"Misalnya emas, atau produk pendapatan tetap, (seperti) obligasi. Harga turun, jadi yield (tingkat imbal hasil) akan naik," ungkap Imelda.
Namun, bukan berarti seluruh portofolio di instrumen berisiko tinggi harus dijual. Menurutnya, jika masyarakat memiliki saham dengan fundamental cukup baik, maka tak masalah jika dipertahankan.
"Kalau yang fundamentalnya bagus, nanti juga akan naik lagi. Jangan dijual habis," tutur Imelda.
Hanya saja, kata dia, kalau portofolio saham sudah memberikan keuntungan, ada baiknya dijual terlebih dahulu. Hal ini untuk mengantisipasi gejolak di pasar saham saat The Fed benar-benar melakukan tapering off pada akhir November 2021.
Pecah Investasi
BACA HALAMAN BERIKUTNYAMenjaga Keamanan Investasi dari Risiko Tapering Off Bank Sentral AS - CNN Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment