Maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berada di ujung tanduk. Kondisi finansial perusahaan berdarah-darah di tengah pandemi covid-19 yang menekan secara signifikan jumlah penumpang.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengungkapkan utang perseroan mencapai Rp70 triliun dan bertambah Rp1 triliun setiap bulannya. Tumpukan utang tersebut disebabkan pendapatan perusahaan tidak menutupi pengeluaran operasional, alias besar pasak daripada tiang.
Irfan memproyeksikan pendapatan Mei 2021 hanya sekitar US$56 juta. Saat yang bersamaan Garuda Indonesia masih harus membayar sewa pesawat US$56 juta, maintenance (perawatan) pesawat US$20 juta, avtur US$20 juta, dan gaji pegawai US$20 juta.
"Secara cash sudah negatif. Secara modal sudah minus Rp41 triliun," ujar Irfan dalam rekaman internal yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (24/5).
Akibatnya, dengan terpaksa perusahaan menawarkan program pensiun dini kepada pegawainya. Program ini bersifat sukarela dengan cara mendaftarkan diri bagi pekerja yang bersedia mulai dari 19 Mei hingga 19 Juni 2021. Harapannya, program pensiun dini bisa mengurangi beban operasional perseroan.
Persoalan Garuda Indonesia ikut menyedot perhatian pemerintah. Baru-baru ini, sebuah dokumen berisi empat opsi penyelamatan Garuda Indonesia berlogo Kementerian BUMN beredar di publik, namun belum ada konfirmasi resmi dari pihak terkait.
Opsi penyelamatan itu meliputi memberikan pinjaman atau suntikan ekuitas, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk restrukturisasi utang perseroan, mendirikan maskapai nasional baru yang nantinya menggantikan Garuda Indonesia, dan melikuidasi Garuda Indonesia.
Upaya penyelamatan Garuda Indonesia tentunya bukan perkara mudah lantaran pandemi covid-19 memperburuk kondisi perseroan. Namun, sejumlah pengamat sepakat bahwa sebagai flag carrier atau maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia harus diselamatkan.
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menuturkan sebagai flag carrier, Garuda Indonesia bukan sekadar perusahaan maskapai penerbangan yang bersifat komersial. Lebih dari itu, perseroan melakukan tugas pelayanan publik dengan menerbangi rute-rute terpencil (remote) yang tidak terjangkau oleh maskapai swasta karena kurang memiliki nilai keekonomian.
"Kenapa Garuda Indonesia penting, karena ini adalah maskapai yang membawa bendera nasional, BUMN yang penugasannya bukan sekadar penugasan untuk tujuan-tujuan komersial tapi juga ada tujuan yang sifatnya PSO, sehingga perlu atau tidak diselamatkan, menurut saya sebagai flag carrier, iya perlu diselamatkan," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (1/6).
Apabila Garuda Indonesia tidak diselamatkan, ia ragu maskapai swasta akan mengisi kekosongan rute yang ditinggalkan oleh perusahaan. Lambat laun, kondisi ini tentunya berimbas pada perekonomian di daerah terpencil tersebut.
Toto menyatakan persoalan finansial perseroan sebetulnya bukan hal baru. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Garuda Indonesia pernah nyaris bangkrut karena tumpukan utang asing yang diperparah dengan depresiasi nilai tukar rupiah akibat krisis ekonomi 1998 hingga tembus Rp15 ribu per dolar AS.
Namun, Direktur Utama Garuda Indonesia kala itu, Robby Djohan berhasil menyelamatkan perseroan melalui langkah restrukturisasi utang dengan debitur luar negeri. Persoalan Garuda Indonesia, kata dia, kembali berlanjut akibat faktor mismanagement atau kesalahan tata kelola perusahaan salah satunya kasus dalam pengadaan pesawat.
Seperti diketahui, mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar tersandung kasus suap dan pencucian uang terkait pembelian pesawat dari Airbus dan mesin pesawat dari Rolls-Royce selama periode 2005-2014.
Pada 2018, perusahaan dengan kode saham GIAA itu kembali tersandung permasalahan laporan keuangan sehingga harus menyajikan kembali (restatement) neraca keuangannya.
Akibat restatement tersebut, Garuda Indonesia yang tadinya mencetak laba bersih US$5 juta atau sekitar Rp699,9 miliar harus menulis fakta lain yakni rugi bersih sebesar US$175 juta, atau sekitar Rp2,45 triliun.
Setelah merugi di 2018, Garuda Indonesia berhasil mencetak laba sebesar US$6,98 juta atau Rp99,11 miliar di 2019 lalu. Namun, lagi-lagi perusahaan tersandung kasus yang mencoreng tata kelola perusahaan.
Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara menjadi tersangka atas kasus penyelundupan sepeda motor Harley Davidson dan sepeda Brompton melalui pesawat baru tipe Airbus A330-900 yang diterbangkan dari Toulouse, Prancis. Insiden itu berujung pada pemecatan Ari Askhara.
Selain masalah tata kelola itu, Toto mengatakan persoalan lain yang mengakar di Garuda Indonesia adalah strategi pemilihan rute penerbangan yang tidak efisien. Misalnya, alih-alih menerbangi rute gemuk di domestik dan regional, Garuda Indonesia justru menyediakan penerbangan langsung Jakarta-London yang okupansinya rendah.
Nyatanya, problematika yang dihadapi Garuda Indonesia masih berlanjut pada 2020 hingga saat ini. Bahkan, Toto mengatakan persoalan yang dihadapi perseroan kali ini lebih pelik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pasalnya, permasalahan saat ini bukan hanya soal mismanagement namun hilangnya permintaan (demand) karena pandemi covid-19.
Kehancuran bisnis maskapai penerbangan akibat pandemi covid-19 tidak hanya dialami Garuda Indonesia. Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) mencatat kerugian seluruh maskapai di dunia pada 2020 mencapai lebih dari US$100 miliar, di mana pendapatan rata-rata turun sampai dengan 90 persen.
"Kondisi sekarang menjadi lebih sulit karena faktornya bukan lagi hanya dari satu sisi, kalau dulu problemnya hanya mismanagement sehingga ketika manajemen dibetulkan Garuda Indonesia bisa baik kembali, sekarang ini bukan sekedar mismanagement tapi juga demand berantakan karena covid-19, ini jadi tekanannya dua arah," katanya.
Suntik Modal
BACA HALAMAN BERIKUTNYAUrgensi Penyelamatan Garuda Indonesia dari Ujung Tanduk - CNN Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment