Oleh : Hiru Muhammad, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Awal Agustus lalu, tepatnya mulai 1 hingga 14 Agustus, TNI AD menggelar latihan besar-besaran bersama US Army. Latihan ini adalah yang ke-15 kali diadakan kedua angkatan bersenjata sejak 2009 lalu di Bandung, Jawa Barat.
Namun, yang membedakan dari latihan sebelumnya, dalam latihan yang mengerahkan tidak kurang dari 4000 personil ini dilakukan di tiga lokasi terpisah. Pusat Latihan Tempur Baturaja provinsi Sumatra Selatan, Makalisung Sulawesi Utara, dan Amborawang Kalimantan Timur. Materi latihannya terkait latihan lapangan, menembak, medis, dan penerbangan.
Meski latihan ini bukanlah yang pertama kali, namun latihan dalam skala besar yang melibatkan banyak persenjataan modern kedua pihak, bertepatan dengan menghangatnya suhu politik di laut Cina Selatan dalam beberapa tahun terakhir. Selain angkatan darat, TNI AU juga telah menggelar latihan militer bersama AU AS beberapa waktu lalu. Di sisi lain, Cina dan Rusia juga menggelar latihan yang diikuti lebih dari 10.000 pasukan dalam waktu yang tidak jauh berbeda.
Masih di bulan yang sama, AS juga telah mengakhiri kehadirannya setelah 20 tahun terlibat konflik bersenjata di Afghanistan. Kehadiran AS di negara yang terletak antara Asia Tengah dan Asia Selatan itu adalah yang terlama kedua setelah di Vietnam di era 1960an hingga 1975. Kehadiran AS di Afghanistan bermula dari tragedi 11 September 2001 ketika terjadi pemboman menara kembar TWC di New York.
Setelah menarik pasukannya di Afghanistan, AS akan memusatkan perhatian politik dan militernya ke mana?. Tentunya jawaban pertanyaan ini sangat luas dan tidak ada batas. Segala bentuk argumen bisa saja dilontarkan dengan berbagai alasan yang masuk akal. Apalagi AS adalah negara dengan kekuatan ekonomi dan militer terbesar di dunia, rasanya secara politik dan militer tidak ada yang tidak bisa dilakukannya.
Salah satu yang membetot perhatian AS dalam beberapa tahun terakhir ini adalah kawasan Natuna Utara atau Laut Cina Selatan (LCS). Berbeda dengan Afghanistan yang miskin dan lemah, di kawasan Asia Tenggara ini terdapat sejumlah negara ASEAN yang rata rata perekonomiannya cukup baik. Di kawasan ini, AS pun harus berhadapan dengan Cina yang menjadi rival utamanya setelah Rusia. Rivalitas AS dengan Cina diawali dengan masalah perdagangan, aksi saling tuding sebagai penyebar Covid-19, hingga klaim sebagian besar laut Cina Selatan.
Seperti biasa, dalam melakukan kampanye militer di sejumlah negara AS tak pernah sendiri. Beberapa negara barat seperti Prancis, Inggris, Kanada, atau sekutu AS di Asia seperti Jepang, Taiwan, India dan lainnya dilibatkan di LCS ini. Di tariknya pasukan AS dari Afghanistan tentunya akan mengurangi biaya operasional yang harus ditanggung pasukan AS dan pakta pertahanan atlantik utara (NATO). Merekapun akan lebih mudah memusatkan perhatiannya di kawasan yang mengandung sumber alam menggiurkan ini. Sejumlah kapal perang dari negara tersebut silih berganti singgah atau melalui kawasan yang diklaim Cina secara sepihak sebagai wilayah teritorinya tersebut. Mereka hadir guna mendukung apa yang mereka sebut sebagai kebebasan navigasi Internasional.
Lalu bagaimana dengan Indonesia. Politik bebas dan aktif yang dijalankan Indonesia sejak berdiri 76 tahun lalu, kembali diuji. Baik Cina maupun AS dan sekutunya memiliki agenda sendiri terhadap masalah LCS. Meski angkatan laut Cina dan AS sudah wara wiri di lautan seluas 3,5 juta kilometerpersegi, namun kedua pihak tidak mau terpancing menjadi yang pertama menarik picu senjata. Apapun strategi yang mereka lakukan, Indonesia tetap menempati posisi strategis bagi Cina dan AS. Karena itu keduanya berupaya menarik posisi Indonesia dengan berbagai cara. Apalagi bila melihat kondisi geografis dan peran Indonesia yang menentukan di ASEAN, tentunya akan mempengaruhi geopilitik di kawasan ini. Indonesia tentunya harus menarik keuntungan maksimal baik secara politik, ekonomi dan militer dari ketegangan di kawasan ini.
Ditariknya pasukan AS dari Afghanistan setelah terlibat perang berkepanjangan tentunya menimbulkan spekulasi soal laut Cina selatan. Tidak mustahil AS akan meningkatkan kehadiran militernya di kawasan ini. Apalagi beberapa negara anggota ASEAN seperti Singapura dan Malaysia merupakan mitra dekat AS dan sekutunya selain Ausralia dan Selandia Baru. Presiden Filipina, Rodrigo Duterte tampaknya juga harus mengoreksi kembali hubungan dekatnya dengan Cina, menyusul kehadiran milisi nelayan Cina ke perairan Filipina beberapa waktu lalu, yang menyulut emosi Filipina. Duterte telah mempertimbangkan kembali dibukanya pangkalan militer AS di Subic dan Clark. Apalagi Filipina dan AS telah memiliki sejarah panjang terkait kehadiran kedua pangkalan militer tersebut.
Bagi Indonesia digelarnya Garuda Sheild tersebut selain untuk meningkatkan kemampuan militer pasukan kedua negara, juga dapat menjadi diplomasi militer bagi kawasan ini. Setidaknya, peringatan bagi negara manapun yang ingin mengganggu stabilitas di kawasan Asia Tenggara khususnya di laut Natuna Utara, akan berurusan dengan banyak negara.
Setelah dari Afghanistan, Militer AS Mau Ke Mana? - Republika Online
Read More
No comments:
Post a Comment