KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja ekspor Indonesia naik pada Oktober 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor pada bulan laporan sebesar US$ 22,03 miliar. Jumlah ini meningkat 6,89% mtm dari bulan September 2021 yang pada waktu itu tercatat US$ 20,61 miliar dan bila dibandingkan dengan surplus Oktober 2020 yang pada waktu itu tercatat US$ 14,36 miliar, ini naik 53,35% yoy.
Tak hanya meningkat secara bulanan maupun tahunan, bahkan nilai ekspor kembali mencetak rekor tertingginya menggantikan posisi Agustus 2021 yang tercatat US$ 21,43 miliar. Peningkatan ekspor pada bulan tersebut didorong oleh meningkatnya permintaan dari negara-negara tujuan ekspor.
Selain itu, peningkatan ekspor juga didorong oleh peningkatan berbagai harga komoditas, seperti Indonesia Crude Price (ICP) yang naik 13,03% mtm, batubara 27,58% mtm, minyak kernel naik 26,62% mtm, minyak kelapa sawit naik 10,62% mtm, serta komoditas karet, tembaga, timah, dan aluminium.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, peningkatan harga komoditas ini memang membawa angin segar bagi ekspor Indonesia. Nah, asal tahu saja, peningkatan harga komoditas yang menjadi kekuatan bagi ekspor ini didorong oleh adanya krisis energi di beberapa negara seperti China, India, serta negara-negara di Eropa.
Riefky melihat, berkah yang diterima Indonesia ini berpotensi bertahan untuk beberapa waktu ke depan. Sehingga, masih berpotensi memperkuat nilai ekspor, meski tidak setinggi pada bulan Oktober 2021.
Baca Juga: Pengurangan penggunaan batubara dilakukan bertahap, Begini komentar sejumlah industri
“Estimasi kami belum ada tanda-tanda penurunan harga komoditas yang signifikan. Krisis energi masih akan berlangsung di negara-negara yang permintaan sudah pulih tetapi suplai belum. Untuk beberapa waktu ke depan, akan naik dan kapan turunnya? Belum ada bayangan,” ujar Riefky kepada Kontan.co.id, Jumat (15/11).
Sejumlah komoditas pun masih digadang menjadi primadona ekspor Indonesia, seperti batubara dan crude palm oil (CPO). Ditambah, ada lagi komoditas besi dan baja yang akhir-akhir ini banyak dikirim seperti ke negara China.
Namun, Riefky mengingatkan agar Indonesia tak selamanya bergantung pada komoditas. Karena, bila ada penurunan harga, maka berkah yang didapat bisa saja berkurang. “Ini kemudian membuat kita rentan terhadap fluktuasi harga dan bisa menimbulkan risiko jangka menengah panjang. Ketakutannya, bisa saja kita tidak bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap),” ujar Riefky.
Untuk itu, Riefky mengimbau pemerintah untuk melakukan diversifikasi sumber pertumbuhan. Dalam hal ini, yang bisa digenjot, setidaknya dalam jangka menengah, adalah revitalisasi sektor manufaktur.
Reindustrialisasi sangat dibutuhkan dalam membangun perekonomian Indonesia dan mengejar cita-cita bangsa untuk menjadi negara maju. Namun, untuk mencapai ini memang menghadapi banyak tantangan. Yang diperlukan adalah mendorong investasi dengan membuat iklim bisnis yang lebih baik.
“Ini mendesak. Karena kalau tidak, kita susah untuk transformasi ke sektor lainnya yang memiliki nilai tambah tinggi. Memang ini harus jadi prioritas pembangunan paling tidak pasca Covid-19,” tandasnya.
Ekonom: Ekspor Indonesia masih bisa kecipratan berkah dari krisis energi - Kontan
Read More
No comments:
Post a Comment