REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Terumbarnya kembali praktik pengaturan skor telah menyiratkan bahwa bau busuk itu masih belum hilang sepak bola Indonesia. PSSI sebagai otoritas tertinggi sudah seharusnya bersikap aktif dan jangan sekadar umbar retorika untuk membersihkan noda sportifitas dari olahraga paling dicintai penduduk negeri ini.
Akmal Marhali, koordinator Save Our Soccer (SOS), meminta PSSI sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di sepak bola nasional harusnya lebih tahu tentang problem yang ada di internalnya.
“Dengan pengurus PSSI yang mayoritas sudah karatan dan berpengalaman di sepak bola nasional, harusnya tidak sulit untuk menemukan dalangnya atau aktor intelektualnya (pengaturan skor),” tulis Akmal di dalam akun Facebook miliknya.
Akmal mengatakan PSSI jangan hanya bersifat menunggu laporan dari masyarakat, lalu baru bertindak. Terbongkarnya kasus Perserang, kata dia, jangan sampai berhenti pada pemain yang dihukum oleh Komdis, lalu dilimpahkan ke kepolisian.
“Tapi, PSSI juga harus mampu mengurai dan mendapatkan dalangnya. Pemain selama ini hanya wayang, pastinya ada dalangnya,” ujarnya.
Akmal juga mengatakan jangan sampai ada kesan langkah PSSI yang melimpahkan kasus match fixing ke Polda Metro Jaya itu hanya menjadi bentuk cuci tangan semata. Ia pun mengumpamakan piring kotor masih saja berserakan di internal organisasi maupun di ekosistem sepak bola nasional.
“Jadi jangan sampai ada kesan PSSI ‘membuang’ sapu yang seharusnya ia pergunakan untuk membersihkan rumahnya yang kotor kepada pihak lain,” katanya.
“PSSI harusnya bisa mengambil langkah-langkah preventif bahkan membongkar mafia bola yang diketahui untuk dijatuhkan sanksi baik yang sifatnya lex sportiva maupun hukum pidana. Ayo, PSSI,” lanjutnya kembali.
Kritik dari Akmal ini sejatinya merespons sikap PSSI yang dinilai belum aktif membongkar dugaan pengaturan skor di sepak bola nasional. Dikutip dari Antara, Sabtu (6/11), Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan hanya meminta semua pihak yang mengetahui apa saja terkait praktik pengaturan skor di sepak bola Indonesia untuk melapor, baik itu ke PSSI atau langsung ke pihak kepolisian.
"Kalau ada yang mengetahuinya, informasikan kepada kami. Kalau misalnya tidak percaya kepada PSSI, bisa langsung ke polisi. Pasti nanti akan diungkap," ujar Iriawan di Jakarta, Sabtu.
Pria yang akrab disapa Iwan Bule itu menyebut bahwa PSSI tidak bisa setiap hari melakukan pengawasan kepada seluruh pemain, perangkat pertandingan serta ofisial yang ada. Oleh karena itu, Iriawan berharap adanya bantuan dari berbagai pihak agar praktik-praktik kotor sepak bola dapat dibersihkan.
"Kami hanya ingin sepak bola Indonesia ini maju. Kami akan 'menghajar' siapa saja yang terlibat termasuk apabila itu pengurus," katanya beretorika.
Lalu hanya selang sehari kemudian, pria yang akrab disapa Iwan Bule ini pun lebih meminta bantuan dan dukungan kepada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Ia meminta agar kembali diaktifkan Satuan Tugas Antimafia Bola yang sempat dijalankan pada tahun 2018-2020.
"Saya mohon kepada Kapolri untuk membentuk kembali karena kami senang sekali sepak bola bisa dikawal Satgas," ujar Iriawan.
Menurut dia, keberadaan Satgas dapat membuat pihak-pihak jahat mengurungkan niat mereka untuk “macam-macam". Iriawan sendiri cukup optimistis satgas tersebut akan diaktifkan lagi.
"Saya mendapatkan informasi memang akan dibentuk lagi," kata purnawirawan polisi berpangkat akhir Komisaris Jenderal itu.
Reaksi PSSI untuk membongkar dugaan pengaturan skor setelah adanya tayangan Mata Najwa yang pada Rabu (3/11) mengangkat tema "PSSI Bisa Apa jilid 6: Lagi-lagi Begini”. Dalam tayangan tersebut, diundang beberapa narasumber, termasuk seseorang dengan label "Mr. Y" yang menyebut dirinya wasit Liga 1. Dia mengaku terlibat dalam pengaturan dua pertandingan di Liga 1 Indonesia musim 2021-2022.
Tayangan tersebut muncul setelah klub Liga 2 Peserang melaporkan dugaan pengaturan skor yang dilakukan lima pemainnya kepada PSSI. PSSI menindaklanjuti laporan itu dan pada Rabu (3/11) menjatuhkan hukuman berat yakni tak bisa beraktivitas di sepak bola nasional selama dua sampai lima tahun serta denda puluhan juta rupiah untuk lima pemain yang terlibat yakni Eka Dwi Susanto, Fandy Eky, Ivan Julyandhy, Ade Ivan Hafilah dan Aray Suhendri.
Terungkapnya pengaturan skor itu ternyata membuat Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali ikutan bersuara. Sayangnya, ia masih terjebak pada retorika dengan hanya bersikap mengapresiasi langkah PSSI yang melaporkan dugaan pengaturan skor (match fixing) yang melibatkan eks pemain Perserang Serang ke pihak kepolisian.
"Mudah-mudahan langkah yang dilakukan PSSI segera ada hasilnya," katanya usai menghadiri acara sosialisasi Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) di salah satu hotel di Makassar.
Dirinya juga yakin pihak kepolisian dapat mengungkap kasus tersebut. Termasuk mendapatkan siapa yang menjadi otak di balik kejadian tidak sportif tersebut.
"Kalau tidak ada otaknya, maka tidak mungkin. Semoga ini memberikan efek jera agar tidak terjadi lagi kedepan," katanya.
Terkait sikap pemerintah dan PSSI tersebut, Akmal pun menegaskan bahwa amanat untuk memperbaiki sepak bola nasional itu ada di tangan PSSI. “Jadi jangan lempar tanggung jawab itu kepada pihak lain,” ujarnya.
Mampukah PSSI Bersihkan Pengaturan Skor dari Bola Nasional? - Republika Online
Read More
No comments:
Post a Comment